HARUSKAH TANPA TANTANGAN?

ARROHMAH.CO.ID — Seorang Ayah dan Ibu menyampaikan keluhan kepada kami, dari awal masuk ke pesantren sampai sekarang kenapa kok masih belum “kerasan” (menerima kondisi yang ada). Mulai dari teman sekamarnya yang katanya jahat, egois, kemudian kegiatan di pesantren yang sangat padat, fasilitas yang kurang memuaskan, gak boleh ini dan itu, ustadzah yang nggak care dengan anak, terlalu mengekang anak dengan hari berkunjung hanya 1 kali sebulan, dan masih banyak keluhan – keluhan yang disampaikanya.

Sementara sang anak menginginkan mau tidak mau harus pindah sekolah. Beberapa orangtua mungkin karena “sayangnya” kepada anak menuruti saja keinginan anaknya untuk pindah, tetapi ada juga orangtua yang bersikukuh untuk tetap meminta anaknya menuntut ilmu di pesantren. Fenomena ini menarik untuk dicoba mencari titik temu yang solutif aplikatif bagi semua pihak terutama untuk kebaikan anak untuk masa depannya.

Ternyata masih (kalau bisa dikatakan) banyak orangtua yang belum menyadari, di balik kehidupan yang dialami oleh anak-anaknya semasa sekolah, mereka mempunyai persoalan besar, yaitu jiwa yang masih labil dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan atau tantangan. Jika hal ini saja belum bisa diatasi, maka bukan tidak mungkin masa depan yang diimpikan selama ini oleh orang tua dan anak, akan hanya menjadi angan-angan semata. Padahal saat ini orangtua perlu untuk mengantarakan anaknya menjadi pribadi yang siap untuk menghadapi kehidupan sebenarnya. Mungkin inilah salah satu yang perlu dilakukan orangtua dan anak-anak, yaitu belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa (baca:sebenarnya), yakni kesulitan dan rintangan.

Mengutip tulisan Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis,

Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak – anaknya adalah tantangan

Apakah itu rasa marah, emosi dengan kesulitan – kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, perasaan yang tidak menentu, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat – cepat ingin mengambil alih masalah yang dihadapi anak – anaknya. Ketidaknyamanan dan kesulitan beradaptasi biasanya diselesaikan dengan memindahkan anak (alasannya permintaan anak), atau jika sulit belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru – guru les.

Seolah – olah anak tidak boleh mengalami dan merasakan kesulitan hidup. Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak – anaknya mendapatkan prestasi lebih dan mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah/pesantren. Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: ” Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang? “ Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

[*Rully Cahyo Nufanto]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X