PERSPEKTIF

Aku membuka mata, mendengus. Tak mengindahkan pertanyaannya, aku balas mendorong punggungnya yang dengan santainya disandarkan pada punggung ku, membuat beban di atasnya bertambah dalam artian sebenarnya.

Bukannya menjauh, gadis berhijab merah muda itu justru semakin mendorong punggungku hingga aku nyaris terjatuh. Aku mencubit pinggangnya gemas, berujar kesal, “Kau itu berat, jangan seenaknya menambah beban hidup aku dengan itu. “

Ia tertawa lepas, lantas mengubah posisi duduknya, menghilangkan tekanan pada punggungku.

Aku menutup mushaf, meletakkannya di pangkuan. Memperbaiki hijab biruku yang sedikit tertarik kebelakang karena ulahnya.

Aku ikut memutar tubuh. Kursi panjang tanpa sandaran di bukit kecil ini memang memudahkan kami untuk menghadap arah manapun yang kami mau.

Angin bertiup pelan, suara gemerisik dedaunan terdengar, membuat suasana terasa damai. Hal yang aku sukai dari bukit kecil sekolah asrama kami. Terletak di bagian depan, tepat di balik pagar, jauh dari hiruk pikuk para penghuni asrama. Bukit berundak kecil, dengan hamparan rumput yang menghijau, juga belasan pohonan lebat yang menaungi. Dilengkapi dengan meja dan kursi dari semen yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai batang pohon. Ini tempat paling tepat bagi siapa pun yang ingin menikmati keheningan.

“Hei!” Gadis hiperaktif itu memulai percakapan, mengulangi pertanyaannya, “baik buruk menurutmu, itu bagaimana?”

Aku mengernyit. “Maksudmu?”

“Patokan” ia melanjutkan, “Patokanmu untuk menentukan baik buruknya segala sesuatu”.

Aku menopang dagu, “Emm tidak ada. Semuanya pasti punya sisi baik dan sisi buruk, kan? Kita tidak bisa menganggap sesuatu sebagai baik atau buruk secara keseluruhan.”

“Nah, cara menentukan mana sisi baik dan mana sisi buruknya itu bagaimana?”

Aku Terdiam, berpikir sejenak, lalu menyengir, “Entah.” Aku mengangkat kedua tanganku tanda tidak tahu. “sekadar menebak, mungkin?”

Ia menatap datar, lalu bertanya “Maksudmu?”

Cengira ku semakin lebar saat mendengar nada sebal pada pertanyaannya.

Aku menetap sekitar, “Apa ya?” masih mencari-cari jawaban yang tepat, “kalau menurutku sih, semuanya tergantung sudut pandang kita, perspektif kita.”

“Perspektif?” Ia mencoba mencerna jawabanku, “Seberpengaruh itu?”

Aku mengayunkan kaki, “Tentu saja. Hal seburuk apapun bisa tampak baik tergantung cara kita melihatnya, begitu juga sebaliknya “.

Hening. Tidak ada jawaban.

Aku sedang menatap kucing kecil yang berlari lincah di seberang jalan.

Sesaat ia kembali bersuara, “Tapi, bagaimana kalau itu adalah sebuah kejadian yang melibatkan kita dan orang lain, dengan kita sebagai pihak yang dirugikan? Kan, posisinya kita sebagai korban? Secara logika, bukankah tidak ada baik-baiknya?”

“Itu karena kau membenci hal itu, jadi kau menganggapnya buruk, dan tidak sempat berpikir jernih untuk melihat sisi baiknya”. Aku menghembuskan nafas perlahan, melanjutkan, “pasti ada kok, bagaimana pun bentuknya”.

Iya mengernyit,” contohnya? “

Aku menatap sekeliling, mencari contoh sederhana, teringat sesuatu, aku menjentikkan jari. “Begini saja! “.

Ia menopang dagu, menunggu.

“Bagaimana perasaanmu saat dulu disuruh bersekolah di sini?”

“Kesal, parah, ” ucapnya sambil menendang kerikil di dekat kakinya. Rumput disekitar meja dan kursi ini memang lebih sedikit dari bagian bukit lainnya, mungkin karena sering diinjak.

“Lalu sekarang?” tanyaku mencoba mengarahkan sudut pandangnya akan pertanyaan yang ia bingungkan.

Ia lantas menyengir lebar, “Senang, sih.”

“Tuh, kan! Akhirnya kamu tahu kalau tempat ini tak seburuk itu. Walaupun jauh dari rumah, tidak bisa bermain ponsel, jadwalnya padat, tapi menyenangkan, bukan?”

Iya mengangguk setuju,”Lalu saat kau tiba-tiba dapat nilai rendah padahal biasanya selalu tinggi, bagaimana perasaan mu?” aku melanjutkan.

“Sedih, lah.”

“Nah, itu bisa banyak kemungkinan. Bisa jadi kau ternyata kurang tekun belajar, kurang berdoa, meremehkan, sehingga kau diberi nilai rendah karena takut kau akan sombong dengan nilai tinggi tanpa usaha mu itu.”

“Ttapi bagaimana kalau ternyata ujiannya memang sulit dan anak anak yang mendapat nilai tinggi itu menyontek?” Ia menyela.

Aku tersenyum, “Itu berarti kau sedang diuji kesabaran dan keteguhan prinsip, apakah dengan semua itu kau akan tetap jujur atau ikut menyontek”.

Ia Terdiam sejenak, “Iya juga, ya?”

Aku mengacungkan jempol, senang karena ia sudah memahami maksudku.

Matahari bersinar Terik. Aku melirik jam di pergelangan tangan, sudah siang ternyata.

Berdehem kecil, aku memutuskan untuk memberi kesimpulan. “Ya, intinya seburuk apapun hal yang menimpamu, pasti selalu ada hal baik yang terselip asal kita mau berhenti sejenak dan menyadarinya “. Ia berdecak kagum.

Aku bangkit, menepuk-nepuk gamis, lantas memberi isyarat untuk kembali ke asrama,”Sudah siang, ayo pulang!”

Membalas dengan anggukan semangat, ia segera melompat menuruni bukit, berlari riang mendahuluiku.

Aku menggelengkan kepala, menguap, lantas berjalan cepat mengikuti. Menatap sekilas langit biru, aku berterima kasih dalam hati karena sudah diberi pemahaman yang membuat dunia terlihat jauh lebih Indah.

[Alya Nur M, Literacy Club Member]


Mondok?

— Di Ar-Rohmah Aja..

Ar-Rohmah Islamic Boarding School merupakan institusi pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam Ar-Rohmah Putri. Berlokasi di Malang Jawa Timur, Ar-Rohmah Putri akan mendidik putra putri anda menjadi generasi yang unggul.

Dengan menerapkan pendidikan berbasis pesantren, lembaga pendidikan ini memadukan aspek intelektual, life skill, dan aspek mental-spiritual. Total terdapat 3 kampus yang terdiri dari Ar-Rohmah Putri IBS, Ar-Rohmah Putri IIBS, dan Ar-Rohmah Tahfizh.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *