Seorang Ahli Hikmah bertamu ke rumah seseorang. Ia mendapati rumahnya begitu mengkilat dengan aneka perabotan baru dan karpet-karpet yang indah. Sayang, pemiliknya tidak memiliki keutamaan pribadi sedikit pun. Maka, Ahli Hikmah itu pun meludah tepat di wajah sang tuan rumah. Orang itu terkejut dan bertanya, “Kekurangajaran macam apa ini?” Ahli Hikmah menjawab, “Inilah hikmah! Meludah itu mestinya di tempat yang paling hina dari sebuah rumah, dan aku tidak mendapati yang lebih hina di rumah ini melebihi engkau!”
Anekdot tersebut dikutip ar-Raghib al-Ashfahani dalam pembukaan kitab adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syari’ah (tangga menuju kemuliaan syariat). Beliau hendak mengingatkan bahwa kemegahan sejati adalah sifat yang melekat pada pribadi seseorang, bukan pada barang-barang yang disimpan dan dimiliki, atau tampilan luar dan gebyar fisik material, atau atribut dan status artifisial yang disematkan belakangan. Betapa banyak orang yang tubuhnya dibalut pakaian bernilai jutaan rupiah, namun akhlaknya tidak lebih dari manusia primitif yang baru keluar dari gua-gua prasejarah. Tidak sedikit sosok yang menyandang atribut-atribut kehormatan, namun perilakunya sangat memalukan dan menjadi bahan ejekan.
Sudah berulangkali bangsa kita menjadi saksi dari tokoh-tokoh yang menyandang segenap jabatan, gelar, dan kedudukan sangat tinggi di masyarakat; namun sepak-terjangnya membuat kita menyesal telah menempatkan mereka pada posisi-posisi tersebut. Bila saja tersedia mekanisme darurat untuk mencabut mandat mereka, kita pasti bersedia melakukannya tanpa berpikir dua kali. Sekedar contoh, di Senayan wakil-wakil rakyat memainkan drama demi drama yang terus-menerus membuat kita mengelus dada. Di saat bersamaan sebagian bupati, walikota, gubernur, juga menteri seolah-olah antre untuk diciduk KPK satu persatu. Mungkin, kemegahan jabatan yang mereka sandang kosong dari keutamaan sejati dalam diri pemiliknya, sehingga hanya menjadi sarana untuk menyiarkan aib pribadi mereka seluas-luasnya.
Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa takwa itu ada “di sini”, seraya menunjuk ke dadanya (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah). Beliau hendak menegaskan bahwa nilai diri seseorang terletak pada sesuatu yang benar-benar bersemayam di dalam jiwanya, bukan pada apa yang ditempelkan di luarnya. Menurut Syaikh Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, hadits tersebut menunjukkan bahwa bukan amalan-amalan lahiriah yang menyebabkan diraihnya predikat takwa, akan tetapi perasaan dan niat yang terbetik di dalam hati seperti takut kepada Allah, ta’zhim kepada keagungan-Nya, dan merasa diawasi oleh-Nya.
Sangat wajar pula jika Allah menyatakan bahwa pakaian takwa itu jauh lebih baik, meski pada saat bersamaan kita juga diisyaratkan untuk menutup aurat dengan sempurna. Allah berfirman, “Hai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS al-A’raf: 26).
Imam Ibnu Katsir menyitir pandangan sejumlah ulama’ perihal makna “pakaian takwa” tersebut. Menurut Ibnu ‘Abbas, maknanya adalah amal shalih. Dalam riwayat lain, beliau menjelaskan maksudnya adalah tanda-tanda perilaku yang bagus di wajah seseorang. Menurut ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (atba’ tabi’in, w. 182 H), maknanya adalah orang itu merasa takut kepada Allah sehingga menutup auratnya.
Dengan kata lain, cara berpakaian yang mencerminkan ketakwaan adalah yang secara hukum memenuhi kriteria menutup aurat secara sempurna, dan di saat bersamaan dibarengi tindak-tanduk yang baik atau amal shalih. Itulah “pakaian takwa”. Keduanya tidak boleh dipisah-pisahkan, karena akan merusak makna dan maksud sebenarnya. Tidak bisa disebut mengenakan pakaian takwa jika seseorang hanya menutup auratnya sementara perilakunya jauh dari syariat. Sebaliknya, tidak disebut memakai pakaian takwa pula jika akhlaknya bagus namun belum menutup auratnya dengan sempurna.
Kita kadang mendengar cerita bernada sinis yang mempertentangkan keduanya. Sebagian orang yang tidak menyukai jilbab dengan nyinyir mengumbar kisah kehidupan sebagian wanita berjilbab yang “nakal” dalam arti sebenarnya. Di saat bersamaan dia menyanjung wanita-wanita tidak berjilbab yang santun, cerdas, dan baik hati. Bagaimana sebenarnya kita memahami persoalan ini?
Ayat 26 dalam surah al-A’raf di muka memberikan sebuah gambaran yang jelas. Bahwa keduanya tidak boleh dipertentangkan, sebab seharusnya keduanya ada bersamaan. Jika tidak, pasti ada masalah di sana. Wanita berjilbab yang berperilaku bejat dan rusak, atau wanita tidak berjilbab yang baik dan santun, sama-sama belum mengenakan pakaian takwa. Inilah salah satu wujud kemegahan yang kosong dari keutamaan itu. Berakhlak mulia adalah kemegahan karena ia adalah syiar seorang muslim, tapi meninggalkan syariat menutup aurat bukan keutamaan. Berjilbab juga kemegahan karena ia pun syiar orang beriman, tapi berakhlak buruk jelas bukan keutamaan.
Menyandang gelar Syaikh, Habib, Ustadz, Ajengan, atau Kyai juga bagian dari kemegahan, sebab kedudukan ulama’ sangat tinggi di mata Allah. Namun, atribut-atribut itu hanya akan menjadi aib bila tidak dibarengi keutamaan sejati di dalam diri penyandangnya. Hal ini sebetulnya juga bisa diberlakukan untuk semua status terhormat yang ada, entah terkait urusan duniawi maupun ukhrawi. Sebagai muslim, kita boleh menyandang kemegahan-kemegahan yang diizinkan syariat, namun kita pun harus berupaya mengisi diri dengan keutamaan-keutamaan. Jika tidak, segenap kemegahan itu akan menjadi pintu kehinaan belaka. Na’udzu billah! Wallahu a’lam. [*] Alimin Mukhtar.