SIAPAKAH “ORANG BAIK” ITU?

Pernah dengar omongan semacam ini? Ada yang bilang, “Gak penting agamanya apa! Yang penting dia baik, bisa kerja, gak nipu, emoh korupsi. Mau bertato, gondrong, pake anting, kalo baik, emangnya kenapa? Masalah buat elo?! Daripada berpenampilan rapi, jidatnya gosong, celananya cingkrang, pake baju koko, ternyata maling!”

Di tengah-tengah masyarakat yang semakin terbuka, ditambah akses media dan informasi yang relatif mudah, banyak lontaran-lontaran seperti itu yang beredar. Kadang di-forward begitu saja secara berantai dalam medsos (media sosial) semisal FB maupun WA. Adakalanya diperdebatkan sedemikian panas dalam grup-grup tertentu, dan acapkali memancing reaksi-reaksi yang liar serta sarat pelecehan.

Bagaimana menyikapinya?

Untuk memulai diskusi ini, salah satu yang terpenting adalah memahami apa definisi “baik” itu sendiri. Sebagai muslim, tentu saja kita merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya, sebelum yang lain-lain. Dengannya pula kita akan menimbang kategori dan definisi yang dikemukakan siapa pun.

Dalam bahasa Arab sendiri, ada banyak kosakata yang maknanya merujuk kepada kebaikan, seperti “al-khair”, “al-hasanah”, “al-ma’ruf”, dan “al-birr”. Di antara keempatnya, “al-birr” adalah induk seluruh kebaikan. Dalam kamus Lisanul ‘Arab disitir pernyataan Abu Manshur, bahwa “al-birr” adalah kebaikan dunia dan akhirat. Istilah ini secara tepat dipilih dalam surah al-Baqarah: 177 ketika Allah menjelaskan tentang kebaikan: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan (al-birr), akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kemiskinan, sakit dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Disebutkan dalam Tafsir Zadul Masir (yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Atha, adh-Dhahhak, dan Sufyan), ayat ini menjelaskan bahwa shalat bukanlah kebaikan satu-satunya. Akan tetapi, yang dimaksud kebaikan adalah semua yang disebutkan dalam ayat tsb. Shalat hanyalah satu diantaranya, bukan satu-satunya. Padahal, shalat adalah pilar terpenting dalam Islam setelah Syahadat. Apabila shalat tidak bisa dijadikan kriteria tunggal untuk menyebut seseorang sebagai sosok yang baik, lantas bagaimana dengan yang lain? Maka, menilai seseorang itu baik hanya karena ia sopan, atau tidak korupsi, atau gemar berderma, jelas sangat parsial. Sama halnya dengan menilai kebaikan seseorang hanya dari shalatnya, ini juga parsial.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Bukanlah kebajikan itu bila kalian shalat dan tidak beramal (yang lainnya). Ini terjadi sejak (Rasulullah) pindah dari Makkah ke Madinah, kewajiban-kewajiban diturunkan, dan batasan-batasan ditetapkan. Allah memerintahkan hal-hal yang wajib itu dan menyuruh mengamalkannya.” Alhasil, orang-orang yang rajin beribadah sampai hitam jidatnya tidak bisa disebut sebagai orang baik jika tidak berlaku amanah dalam bisnis, suka ingkar janji, dan pelit.

Menurut Ibnu Katsir, dulu sebagian muslim dan Ahli Kitab merasa berat menerima kenyataan bahwa menjadi orang baik tidak cukup dengan shalat saja, sebab Allah telah menurunkan berbagai kewajiban dan meminta mereka untuk melaksanakannya. Sebagaimana diketahui, ayat tsb turun di Madinah, sementara shalat merupakan kewajiban pertama yang diturunkan di penghujung Periode Makkah. Lalu, pada masa-masa awal Periode Madinah kewajiban demi kewajiban turun menyusulnya seperti puasa Ramadhan, zakat, dan jihad.

Logika ini bisa dibalik, bahwa tidak akan pernah cukup untuk mendapatkan atribut “baik” dalam perspektif Islam bila seseorang hanya rajin bekerja, jujur, atau santun; sementara ia tidak beriman kepada Allah, tidak mengerjakan shalat, dan enggan menunaikan zakat. Allah mengajari kita untuk berpikir dan menilai seseorang secara utuh, dari segenap sudut.

Bila kita perhatikan baik-baik, ayat 177 dari surah al-Baqarah di atas mencakup kaidah-kaidah mendasar dalam akidah, ibadah, dan mu’amalah sekaligus. Ada aspek-aspek keyakinan seperti beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat, Kitabullah, dan para Nabi. Ada pula aspek-aspek ibadah seperti shalat dan zakat. Ada lagi aspek mu’amalah dan akhlak seperti menyantuni karib kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, peminta-minta, memerdekakan budak, menepati janji, dan bersabar dalam segala kondisi.

Kesimpulannya?

Islam tidak menerima pemisahan-pemisahan, karena hal itu mencirikan cara berpikir sekuler. Allah menghendaki kita menjadi orang-orang yang memiliki keimanan yang baik, ketekunan beribadah, akhlak yang indah, sekaligus bisa diandalkan ketika bermu’amalah dengan sesama. Inilah orang-orang baik dalam arti sebenarnya.

Dengan demikian, sekarang kita dapat menilai secara mantap lontaran-lontaran yang berseliweran di sekitar kita. Sederhana saja logikanya, bahwa yang disebut orang baik itu bukan hanya yang rajin shalat. Orang baik adalah yang dalam kehidupannya terlihat segenap sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Sudah pasti pula tidak bisa disebut orang baik bila dia hanya profesional, pekerja keras, memiliki kepedulian sosial yang tinggi, namun pada saat bersamaan akidahnya menyimpang dan ibadahnya berantakan.

Untuk itu, mari berupaya keras memenuhi seluruh karakteristik yang Allah sebutkan, dan mari kita tinggalkan perdebatan-perdebatan liar itu. Kelak, biar Allah sendiri yang menyematkan gelar “orang baik” itu kepada kita. Amin. Wallahu alam. [Ust. Alimin Mukhtar]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X