TINGGALKAN YANG SIA-SIA

Alat menyelam memang penting, tetapi tidak relevan bagi aktifitas pendakian gunung. Ia tentu lebih membutuhkan tali temali atau sepatu yang kuat dan nyaman di kaki. Demikianlah, ketika pergi ke sekolah, seorang pelajar akan membawa buku-buku dan alat tulis, bukan golok atau bantal.

Sejauh ini, kita baru berbicara dalam skup kecil. Mari kita membahas skup yang lebih luas, yakni kehidupan. Bagaimana cara kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini, dalam hari-hari kehidupan kita, adalah sia-sia atau berguna?

Pertama, tentu saja adalah menyadari apa tujuan hidup kita. Ketidaktahuan terhadap tujuan hidup adalah awal kesia-siaan. Dalam al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah agar mengabdi kepada-Nya semata. Maka, setiap aktifitas yang tidak memiliki nilai ibadah dan pengabdian kepada Allah adalah sia-sia dan tidak relevan.

Kita dapat menderetkan beragam kegiatan mubadzir disini, seperti menonton acara-acara gosip, membaca media cabul, mendengarkan musik perangsang syahwat, atau menghabiskan waktu untuk ngobrol tanpa ada jluntrung-nya.

Bagaimanapun juga, seseorang yang mengerti apa tujuan hidupnya, dia tahu apa yang baik ataupun tidak untuk dilakukannya. Hadits yang kita kutip di awal tulisan ini menegaskan ciri itu. Bahwa, seorang muslim yang baik akan meninggalkan segala sesuatu yang mubadzir, tidak produktif, sia-sia, tidak relevan, juga apa saja yang berbau maksiat. Sebab, ia tahu bahwa ia diciptakan bukan untuk itu.

Dengan kata lain, kesadaran terhadap tujuan hidup sangat menentukan terhadap apa yang harus kita kerjakan selama hidup. Karena kesadaran ini pulalah kita akan terdorong untuk mencari tahu bagaimana cara melakukan hal-hal yang relevan dengan tujuan itu.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka dia akan dibuatnya faqih (paham betul) terhadap urusan agamanya.”

Jika logika hadits ini kita balik, maka ia akan berbunyi begini : pemahaman yang baik terhadap urusan agama adalah awal karunia kebaikan bagi seseorang. Dalam hadits itu, hanya disebut secara umum kata “kebaikan”, yang bisa bermakna kebaikan apa saja, baik di dunia maupun di akhirat.

Hadits ini juga menegaskan bahwa – di mata Allah – kebaikan yang bakal diraih seseorang sangat tergantung kepada faktor pengetahuan dan pengamalan agama. Tanpa kehadiran faktor agama, sebenarnya tidak ada sesuatu pun yang layak disebut sebagai kebaikan; entah itu kesibukan, karir, kekayaan, kecantikan, popularitas, kekuasaan, gelar akademik, rumah megah, kendaraan mewah, dan lain-lain.

Tanpa kehadiran agama di samping segala yang sudah disebutkan itu, maka semuanya adalah sia-sia. Standar dan ukuran sesuatu sia-sia atau berguna, penting atau mubadzir, adalah agama.

Dan, seorang muslim yang baik pasti meninggalkan apa yang diketahuinya sebagai kesia-siaan dan kemubadziran. Bagaimana cara meninggalkannya? Pahamilah agama ini sebaik-baiknya, agar kita mengerti harus “diapakan”, “dikemanakan” dan “dibagaimanakan” semua yang sekarang kita miliki. Wallahu a’lam. (M. Alimin Mukhtar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X