MEMBANGUN MUTU SEKOLAH (1)

Inilah beberapa indikator yang menggambarkan mutu suatu sekolah.

Apakah sekolah kita bermutu? Seperti apa mutunya? Kalau dibanding dengan sekolah lain, lebih bermutu mana?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sering terdengar di telinga. Bisa jadi hal itu mewakili sekian pertanyaan tentang mutu sekolah.

Padahal sebetulnya ada pertanyaan yang lebih mendasar dan sangat penting untuk dijawab. Yakni “Mengapa sekolah kita harus bermutu? Bagaimana caranya agar sekolah menjadi bermutu?”

Indikator Mutu

Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi dalam buku Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah (2001), lebih dari 60% guru SD, 50% guru SMP, dan 20% guru SMA masih under qualified (di bawah kualifikasi). Sedangkan di lingkungan Kementerian Agama, 60% guru madrasah (MI, MTs, MA) belum memiliki kualifikasi yang memadai sebagai guru, sebanyak 20% guru salah kamar, dan hanya 20% yang layak dari segi kualifikasi pendidikannya.

Saat ini ada 2.370.225 guru di Indonesia. Menurut Balitbang Depdiknas (2005), untuk guru TK hanya 8,4%, SD 8,9%, SMP 51,3%, dan SMA hanya 71,8% yang sudah memenuhi kualifikasi akademik sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Guru dan Dosen.

Sebagian orang menyatakan bahwa indikator mutu sekolah diukur dengan hasil siswa dalam Ujian Nasional (UN). Sebagian lagi menyatakan bahwa hasil UN tidak selamanya bisa dijadikan indikator mutu.

Kedua pendapat tersebut dapat dipahami dan diterima, karena UN memang memiliki beberapa fungsi. Misalnya sebagai:

  1. Parameter penentuan mutu atau prestasi sekolah,
  2. Standar pemetaan mutu pendidikan,
  3. Alat ukur diagnostik pendidikan, untuk selanjutnya diberikan problem solving supaya lebih terstandar,
  4. Evaluasi terhadap pelaksanaan sistem manajemen pendidikan, sekaligus sebagai tahapan rekomendasi untuk penyusunan program dan sistem manajemen baru yang lebih applicable,
  5. Alat penentu ketuntasan belajar, kelulusan siswa pada jenjang pendidikan tertentu, sekaligus sebagai alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Ironisnya, dalam implementasi di lapangan, UN sering tercederai oleh banyak pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Alhasil, pelaksanaannya menjadi bias, kurang valid, akuntabilitas rendah, dan agak sulit dipertanggungjawabkan dalam tataran tertentu.

Sebagian lagi menyatakan bahwa indikator mutu sekolah bisa dilihat dari seberapa sering sekolah tersebut meraih juara dalam lomba atau olimpiade. Sebagian yang lain menyatakan bahwa bermutu itu banyak peminatnya atau bisa menyeleksi dan menolak calon pendaftar. Dan mungkin masih banyak lagi argumentasi tentang sekolah yang bermutu.

Standardisasi

Arti dari “bermutu” adalah conformance to requirement atau sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan (Corby: 2010). Pengertian tersebut mensyaratkan ada dua hal penting, yaitu:

Pertama, sesuai dengan standar dan memiliki nilai lebih atau tambah. Standarnya tentu harus ditetapkan terlebih dahulu, karena kemampuan menetapkan standar pendidikan yang baik akan berpengaruh terhadap mutu sekolah.

Jika mengacu pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia secara umum, maka standarnya telah dibuat dan ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Ini adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara tidak langsung, standar tersebut mensyaratkan bagi sekolah untuk mengikuti standar yang telah dibuat oleh BSNP. Bisa saja beberapa sekolah mempunyai standar pendidikan yang lain (selain BSNP), tetapi sesungguhnya kata kuncinya adalah apabila kinerja sekolah telah sesuai standar.

Kedua, memiliki nilai lebih atau tambah. Pertanyaannya, nilai lebih apa yang dimiliki oleh sekolah tersebut? Punya keunggulan apa?

Jika melihat fenomena sekolah saat ini, maka nilai lebih pada masing-masing sekolah dapat digolongkan menjadi beberapa katagori keunggulan: akademik, non-akademik, dan mental spiritual.

Ada sekolah yang sering menjadi juara lomba atau olimpiade bidang studi (matematika, fisika, biologi, IPS, dan sebagainya), baik pada level daerah, nasional, atau bahkan internasional. Beberapa sekolah kerap tampil sebagai juara dalam lomba non-bidang studi (puisi, menyanyi, al-Qur’an, olahraga, menggambar, dan sebagainya).

Ada pula sekolah yang menjadikan nilai tingkah laku (akhlaq) dan kompetensi penguasaan agama (diniyah) sebagai domain dalam pengelolaan sistem pendidikan. Akhlaq (kebiasaan baik) menjadi tren komunitas sekolah serta ditunjang dengan penguasaan kompetensi agama yang baik.

Bahkan saat ini bermunculan sekolah-sekolah yang menjadikan al-Qur’an sebagai ikon pendidikan, baik terkait dengan kemampuan membaca (tartil) maupun kemampuan menghafal (tahfizh). Ada yang 5 juz, 10 juz, bahkan 30 juz dengan tidak meninggalkan standar akademik dan lainnya.

Hal tersebut bisa jadi merupakan nilai tambah, karena memang jarang ditemukan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jika memang demikian, maka hal ini merupakan salah satu diferensisasi keunggulan sekolah.

Mutu sekolah jelas berpengaruh terhadap mutu pendidikan suatu bangsa. Oleh karena itu, evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi sangat penting untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai standar. Juga dapat mengkatagorikan sekolah saat ini bermutu atau belum.

Sekarang mari cermati sekolah kita, apakah standar yang ditetapkan telah bisa dilaksanakan dengan baik atau belum? Apakah nilai lebih sudah ditemukan dan melekat betul dengan brand image sekolah?

Jangan-jangan sekolah kita belum standar dan belum memiliki nilai lebih, alias belum bermutu. Semua kembali kepada pilihan masing-masing sekolah, mau bermutu atau tidak sama sekali.* (Bersambung)

• Rully Cahyo Nufanto, M.KPd, Direktur International Islamic Boarding School Ar-Rohmah Putri Pesantren Hidayatullah Malang/Suara Hidayatullah

Ditulis dari Majalah Suara Hidayatullah Edisi 04 | XXXIV – Agustus 2022, hal 58-59.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X