IBU, MAAF, TERNYATA RAHIMMU MENGHASILKAN SAMPAH

Aku limbung. Pikiranku kacau.

Bagai sekaleng kelereng yang terhambur di lantai, berita itu menyebar dengan cepat. Baru beberapa menit lalu aku kepalang senang, karena akhirnya pentianku selama empat jam membuahkan hasil. Sebuah jirigen yang terisi penuh oleh minyak tanah. Aku sudah akan cepat-cepat pergi, menjemput Lian yang kutitipkan ke pos satpam, hanya berjarak beberapa langkah dari tempat pembagian minyak tanah gratis. Namun kemudian, antrian yang mengular hingga ujung jalan mendadak koyak. Orang-orangnya menghambur ke segala arah. Beberapa mengincar yang sudah mendapat jatah, lantas merebut secara paksa. Sama kotornya dengan para pejabat berjas necis yang duduk di kursi empuk sana, sibuk merebut secara paksa hak dari orang-orang yang ia gembar-gemborkan sebagai rakyat tercinta. Satu-dua pasrah, segera berbalik badan sebelum terkena amukan massa. Namun lebih banyak lagi yang menyerbu pos-pos pembagian, entah apa yang akan dilakukan, wajah mereka terlihat mengerikan.

Seratus lima puluh tong yang tadinya dipenuhi minyak tanah itu benar-benar telah kosong. Isinya berpindah ke jirigen milik orang-orang yang datang lebih awal. Namun manusia yang tersisa  tidak percaya, mereka berusaha merengsek maju untuk melihat tong-tong kosong itu dengan mata kepala sendiri. Beberapa bahkan ada yang mengacungkan golok, entah dapat dari mana, membuat anak-anak kecil yang sedari tadi menonton cepat-cepat kabur.

Aku limbung. Pikiranku kacau.

Sang Raja Siang tengah di tampuk kekuasaannya. Angkuh memanggang penduduk dunia. Awan-awan sengaja dikirim untuk melaksanakan tugas, membuat langit terlihat bersih. Namun tetap saja birunya tak sebaik dulu, teracuni keantagonisan manusia yang terbutakan. Asap mobil, rokok, dan kendaraan bermotor menjunjung angkasa, dalam senyap bersatu untuk menghancurkan generasi anak Adam di masa mendatang.

Aku limbung. Pikiranku kacau.

Desakan orang-orang di sekitarku makin menggila. Tubuhku terjepit sempurna. Oksigen seakan telah habis, membuatku harus mendongak tinggi-tinggi untuk meraupnya. Tanganku memeluk erat jirigen minyak, tak membiarkannya lepas walau hanya sedetik. 

Namun kemudian, sesuatu yang keras menghantam kepala belakangku dengan tela. Aku yang memang sejak awal tak memiliki persiapan apapun tersungkur seketika. Hidungku berdarah, bukan karena mimiran. tetapi sebuah batu besar yang menjadi alasannya. Untuk beberapa detik, aku kehilangan rasa waspada, namun itu lebih dari cukup untuk membuat jirigenku berpindah tangan, Aku meringis, orang-orang mulai menjadikanku sebagai pijakan. Tapi aku tak marah. Memang sepantasnya begini. Terasa sangat benar ketika sebuah pantofel menekan kepalaku. Aku tertawa keras ketika akhirnya, tanganku remuk. Tidak salah ketika kakiku mulai mati rasa dan sekeliling mulai terlihat gelap.

Pemilik nilai terendah di kelas, tak tau diri, bahkan untuk mengambilkan sejirigen minyak saja aku tak becus.

Ibu, maaf. Ternyata rahimmu menghasilkan sampah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X