Mengikis Thagha Menyubur Taqwa

Muqaddimah
Surah Al-‘Alaq : 6-8

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
karena dia melihat dirinya serba cukup.

Manusia dididik wahyu agar mampu mengikis sifat thaga dalam dirinya. Sifat thaga (melampaui batas disertai ambisius) akan mendorong manusia untuk melakukan apa pun yang ia mau. Allah mengingatkan manusia agar mampu mendidik dirinya dengan sifat tawadhu’ (rendah hati-pen), hal ini terdapat pada potongan ayat ke 7 di atas, “karena dia (manusia) melihat dirinya serba cukup”. Kecenderungan manusia untuk thaga dan sombong disebabkan oleh kekayaan (harta), tahta, dan kuasa yang dimilikinya. Harta dan kedudukan yang tidak dibungkus dengan taqwa hanya akan membawa murka. Kemudian ayat ke 8 masih di surah Al-‘Alaq, Allah mengingatkan dengan firman-Nya “ Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu)”. Manusia harus sadar siapa pun ia, semuanya akan kembali kepada Tuhannya, dan akan mempertanggung jawabkan semua yang dimilikinya.

Manusia dalam tujuan penciptaannya adalah untuk menjadi manusia pengusung peradaban demi kemakmuran sebuah tatanan kehidupan di bumi. Wahyu membimbing akal manusia untuk tetap menjadikan adab dan etika dalam ruh dan gerak amanahnya. Al-Qur’an setiap saat harus mampu berdialog denga akal dan bahkan dapat dicerna oleh hati. Karenanya Al-qur’an tidak sedikit memaparkan beberapa kasus dalam sejarah peradaban manusia, mulai dari peradaban manusia ambisius (thagha), dan juga peradaban manusia yang penuh taqwa. Lalu wahyu dengan nyata menyatakan, bahwa paradaban ambisius (thagha) tidak akan pernah eksis di muka bumi, seluruhnya tergilas tak tersisa.

Peradaban Itu Nyata

Jika Ustad Abdul Manan dalam tulisannya memberikan kesimpulan bahwa peradaban itu adalah susuatu tindakan nyata, sederhana yang bisa dan dapat dirasa manfaat dan pengaruhnya bagi manusia dan alam lingkungan, maka mewujudkan peradaban islam (islami-pen) itu sangat mungkin bisa dilakukan oleh setiap umat manusia, khususnya umat islam.
Berikut beberapa contoh konkrit dan riil yang dapat dilakukan oleh setiap insan pendamba peradaban islam.

Jika dalam satu lembaga pendidikan seperti pondok pesantren misalnya, maka akan sangat terlihat jelas laku peradaban oleh setiap insan pesantren (SDM) yang ada di dalamnya.
Dimulai dari pintu paling depan;

  • Security (Pos Jaga), saat ia menampilkan sikap ramah, senyum, cekatan, santun dalam tutur kata, maka itulah peradaban islam yang sedang ditampilkan oleh seorang Security
  • Kerumahtanggaan, dengan segela tugas dan amanah yang diberikan mulai dari tugas kebersihan, air, dapur, dst, jika semua dilakukan dengan laku terbaik dan penuh ikhlas, maka itulah peradaban islam
  • Humas, pelayanan terbaik dengan standar salam, senyum, sapa, sopan, santun adalah satu indikator suksesnya sebuah laku peradaban di lingkungan kehumasan. Orangtua puas, masyarakat puas, maka itu peradaban islam.
  • Pengasuh, dengan standar pelayanan terbaik yang diberikan kepada para santri dan orang tua, sehingga mereka merasa puas, hal itu merupakan implementasi serta aksi dari sebuah peradaban islam yang dicitakan
  • Tenaga Pendidik, mereka bersinggungan langsung setiap harinya dengan ilmu, untuk kemudian disampaikan kepada peserta didik/santri, membimbing para santri untuk bisa dalam meguasai satu disiplin ilmu, mengajarkan akhlak dan budi pekerti, sehingga mereka menjadi anak-anak yang sholeh dan berbakti, maka itulah peradaban islam
  • dan sisi-sisi lain yang mungkin belum terbahaskan. Namun semua memiliki andil nyata untuk suksesnya sebuah peradaban islam. (Jum’at, 08/01/21 Intisari Materi Pembinaan SDM- Bersama Ustad Rully-pen)
Peradaban Thaga (Ambisius, Angkuh)
Thaga Fir’aun

Sejarah mengungkap sebuah fakta yang cukup panjang dan sering diulang dalam Al-qur’an, yaitu fakta sejarah kepemimpinan adidaya Fir’aun, di Mesir kala itu. Di mana kuasa dan tahta membutakan mata hatinya, sehingga kebijakan-kebijakan yang diputuskan selalu merugikan orang lain.
Ambisi, semua berawal dari ambisi yang melampaui, ambisi yang disertai dengan kepongahan dan kecongkakan bahwa ia bisa segalanya, dan bisa berbuat apa saja terhadap lawan politiknya, para oposan, seperti yang dialami oleh nabi Musa dan pengikutnya.
Kedholiman dan penganiayaan dilakukan di mana-mana, pembunuhan terhadap bayi laki-laki tak berdosa, dan berbagai bentuk intimidasi lainnya.
Sehingga Allah Ta’ala merekam jejak Fir’aun dalam beberapa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:

• Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas. (QS. Thaha:24)
• Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; (QS. Thaha:43)
• Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, (QS. An-Nazi’at : 17)
• yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, (QS. Al-Fajr: 11)

Kesombongan melahirkan kesewenangan dalam sikap dan tindakan. Yang pada akhirnya akan membinasakan dirinya sendiri.

Thaga Bani Israil

QS. Thaha: 80-81
• Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu dan Kami telah menurunkan kepada kamu sekalian manna dan salwa.
• Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.

Thagha Kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam
  • QS. An-Najm: 52
    • Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka,
Thaga Kaum ‘Aad dan Tsamud
  • Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka. (QS. Al-Isra’ : 60)
  • (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas (QS. As-Syams: 11)
Peradaban Takwa
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam

….
Nabi Ibrahim telah sukses menjadi pribadi yang mampu memberikan contoh keteladanan baik dalam skala keluarga kecilnya, sebagai pemimpin rumah tangga, dan sebagai pemimpin kaumnya. Sebagai pemimpin kaum ia senantiasa memikirkan masa sepan agama dan akhlak kaumnya, inilah peradaban tauhid, peradaban hanif (lurus) dalam norma kebajikan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
• Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS. Ibrahim: 35)
• Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. Al-Baqarah:125)
• Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:127)
•Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)”. (QS. An-Nahl:120)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam

…..
Keteladanan dalam keadilan, bagaimana Al-Qur’an berkisah cukup jelas akan keadilan. Peradaban keadilan yang dijalankan oleh Sulaiman dan orangtuanya Daud adalah bukti betapa seorang Sulaiman muda meiliki akhlak yang luhur. Ia berhasil memutuskan perkara dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dijelaskan dalam al-qur’an:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,”. (QS. Al-Anbiya’: 78)

Keteladanan dalam syukur, betapa pun kedudukan yang Allah berikan kepadanya tidak tertandingi dan tidak ada yang menyamai, namun sikap seorang raja Sulaiman tetap bersyukur kepada Tuhannya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah:
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An-Naml: 40)

Apapun yang dimiliki oleh manusia termasuk apa yang dimiliki nabi Sulaiman berupa kekayaan dan kekuasaan, tetap tidak mampu menjadikannya jaya dan kuat selamanya, pada akhirnya tubuhnya pun melemah (sakit) dan kembali kepada Tuhannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah;
Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat. (QS. Shad:34)

Jaya adalah ujian kehidupan, sakit pun adalah ujian hidup, dua kondisi yang dirasakan oleh semua manusia, yang terpenting adalah bagaimana mengakhiri semuanya dengan taubat.

Nabi Yusuf ‘alaihissalam

….
Keteladanan dalam kejujuran, peradaban jujur (tidak khianat) adalah peradaban yang ditampikan oleh sosok Yusuf muda ketika ia menghadapi ujian berupa bujuk rayu seorang wanita raja, ia mampu tampil nyata sebagai pemuda yang beriman kepada tuhan, sehingga ia mampu mengendalikan gejolak dirinya. Sebagaimana dalam ayat berikut;
(Yusuf berkata): “Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. (QS. Yusuf:52)

Peradaban yang dibangun di atas pondasi kejujuran dan keadilan (takwa), akan berlangung langgeng dan dapat dirasakan manfaatnya sepanjang masa. Itulah yang berhasil ditampilkan oleh Yusuf ‘alaihissalam selama ia memangku jabatan kerajaan di Mesir kala itu. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut;
Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (55)
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (56)
Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. (57)

Sebagai kesimpulan dari kajian ini adalah, firman Allah subhanahu wa ta’ala
“sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)”.

Jangan patuh pada kepongahan,
Jangan pula pada kesombongan,
Jangan pula pada kekuasaan tiran,
Jangan pula pada ketidakadilan,
Jangan pula pada kedholiman,
Jangan pula pada keharaman, dan kebathilan

Namun, jadilah pribadi yang senantiasa patuh dan sujud kepada Allah Azza wa jalla, sebagai bentuk taqarrub kepada-Nya. Selamat mewujudkan PERADABAN TAQWA ! Allahu A’lam Bisshowab [*] Muzayyin Abdullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X