Obati Kikirmu, Sebelum Membinasakanmu

Salah satu sifat bawaan manusia adalah kikir (syuhhun). Tidak seorang pun yang bisa menghindarinya, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Di saat bersamaan, dalam diri mereka telah tertanam kecintaan kepada harta benda. Maka, manusia sangat enggan melepaskan hak-haknya untuk orang lain secara rela hati, sebaliknya ia cenderung mengambilnya dari mereka bahkan menumpuknya. Kekikiran sendiri merupakan penyakit yang sangat berbahaya sehingga harus diredam dan dikendalikan, sebelum ia menjadi kronis dan tak terobati.

Allah berfirman, “Manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. an-Nisa’: 128). Juga firman-Nya yang lain, “Dan siapa yang dilindungi (oleh Allah) dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Qs. al-Hasyr: 9; dan at-Taghabun: 16). Kemudian, firman-Nya lagi, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang terbaik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14)

Kita bisa menyaksikan fenomena kekikiran ini dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Ada yang tersamar dan ringan, ada pula yang terang-terangan dan mencengangkan. Keengganan untuk antri dengan tertib dan mendahulukan orang lain, atau ketidakbersediaan untuk mempersilakan orang berusia lanjut menempati kursi di angkutan umum, atau kecenderungan untuk menyerobot jalur pada saat jalanan macet, atau menagih uang kembalian meski hanya sepele jumlahnya, atau beratnya merelakan dan membebaskan orang yang berhutang, semua ini hanyalah contoh-contoh simpel yang mudah ditemui di mana-mana. Contoh-contoh spektakuler dapat kita saksikan pula di media massa. Bukankah orang-orang yang melakukan korupsi dewasa ini tidak berasal dari kalangan yang hidup berkekurangan, namun justru dari kaum kaya dan berkelimpahan? Ternyata, selain enggan melepas apa yang dimiliki, mereka juga berusaha merebut milik orang lain.

Wajar jika Rasulullah menyebut kikir sebagai virus penghancur umat terdahulu. Beliau bersabda, “Berhati-hatilah kalian dari sifat kikir, sebab umat sebelum kalian telah binasa hanya gara-gara kikir. Sifat itu menyuruh mereka untuk pelit (bakhil), lalu mereka melakukannya; menyuruh mereka untuk memutus hubungan keluarga, lalu mereka melakukannya; menyuruh mereka untuk melakukan kejahatan, lalu mereka juga melakukannya.” (Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Amr).

Karena kikir manusia enggan berbagi dan membantu sesama, dalam segala bentuk dan jenisnya. Karena kikir pula ia sengaja menjauhi kerabat dan tetangganya, ketika merasa khawatir mereka akan turut menikmati kekayaannya. Karena kikir pula ia tega berbuat jahat, misalnya dalam kasus sengketa warisan, yang membuat kita mengelus dada dan geleng-geleng kepala.

Dalam kadar normal, sebenarnya kecenderungan untuk menahan hak dan mencari harta akan memberi manfaat. Tanpa bekal sifat ini, manusia tidak akan bisa lestari. Akan tetapi, ketika ia dimanja dan diperturutkan, pada puncaknya pasti berubah menjadi kegilaan yang menghancurkan. Diriwayatkan bahwa Nabi bersabda, “Ada tiga penebus dosa, tiga derajat, tiga penyelamat, dan tiga penghancur … Adapun tiga penghancur itu adalah kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diperturutkan, dan ketakjuban seseorang pada pendapatnya sendiri.” (Riwayat al-Bazzar, al-Baihaqi, al-Mundziri, dari Anas. Menurut al-Mundziri, hadits ini hasan dengan seluruh jalurnya).

Oleh karenanya Islam menganjurkan umatnya untuk bersedekah, murah hati, suka berbagi, mendahulukan orang lain, dan sejenisnya. Dalam Al-Qur’an, perintah menegakkan shalat sangat sering dirangkai dengan anjuran mengeluarkan zakat. Misalnya, Allah berfirman: “Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kauusahakan untuk dirimu, pasti engkau dapati (balasannya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. al-Baqarah: 110). Masih banyak ayat sejenis, seperti al-Baqarah: 43, an-Nur: 56, dan al-Muzzamil: 20.

Mengikis sifat kikir bukanlah perkara mudah. Inilah rahasia mengapa zakat dijadikan salah satu Rukun Islam, yang bila dilanggar maka keislaman seseorang menjadi batal. Rukun Islam pada dasarnya merupakan obat dan terapi untuk mengendalikan kecenderungan-kecenderungan buruk manusia. Syahadat mengajarinya untuk bergantung hanya kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya, tidak didominasi dan dipertakuti oleh selain-Nya atau mematuhi tuhan-tuhan palsu. Shalat membimbing mereka menjauhi perbuatan keji dan munkar, serta tenang dan memiliki kendali diri melalui dzikir. Lalu, zakat membantu mereka melawan dorongan-dorongan negatif untuk bersikap egois, pelit, keras hati, dsb.

Jadi, penolakan untuk bersedekah dan berzakat pada kenyataannya hanya cermin kebebalan manusia sendiri. Ia gagal memahami terapi yang Allah sarankan, agar sembuh dan terbebaskan. Semakin ia enggan bersedekah dan berzakat, penyakit kikir itu akan semakin kuat berakar dan menggerogoti jiwanya, sampai kelak menjerumuskannya ke dalam pemutusan hubungan keluarga, perusakan mu’amalah dengan tetangga, bahkan kejahatan-kejahatan yang mengerikan.

Mungkin ada yang bertanya: bila akibat sifat kikir sedemikian buruk, mengapa Allah tidak menghapuskannya saja? Mengapa ia justru ditanamkan dalam diri manusia? Sebetulnya, selain memiliki manfaat tertentu jika berada dalam kadar normal, setiap perintah baru memiliki makna yang relevan jika terdapat tantangan yang harus dihadapi. Misalnya, bila kita tidak memiliki nafsu kepada lawan jenis, tentu saja larangan berzina menjadi sia-sia. Jadi, Allah menyuruh kita berzakat dan bersedekah justru karena Dia tahu ada kecenderungan sebaliknya dalam diri kita, dan Dia ingin membersihkannya. Wallahu a’lam.

[*] Alimin Mukhtar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

X